Waktu kecil gue nggak terlalu peduli sama dunia hiburan. Tapi sekitar tahun 2003, 2004-an, nama Fahri Albar mulai sering muncul di TV dan majalah. Bukan cuma karena dia anaknya Ahmad Albar, sang vokalis legendaris God Bless, tapi karena dia punya pesona yang… beda.
Gue inget, pertama kali ngeliat dia tuh di film “Kala” garapan Joko Anwar. Jujur, film itu rada berat buat bocah kayak gue waktu itu, tapi aura Fahri Albar tuh nyangkut. Tatapan matanya, cara bicaranya, dialog yang tajam… semua kayak ninggalin bekas.
Beda banget dari aktor cowok lain yang lebih ke arah ‘ganteng sinetron’. Dia tuh bukan tipe cowok ‘clean cut’. Ada sisi gelap dalam dirinya yang justru bikin dia menarik. Gaya rebel, rambut agak gondrong, badan kurus—tapi ada sesuatu di balik itu semua. Ada energi liar yang mentah, dan itu asli.
Mungkin karena itu juga gue jadi kepo. Gue mulai ngikutin film-film dia, wawancara-wawancaranya, bahkan berita-berita tentang kehidupan pribadinya. Dikit-dikit browsing: “Fahri Albar skandal apa lagi nih?” Tapi seiring waktu, yang gue cari bukan gosipnya. Gue lebih penasaran—kenapa orang kayak dia bisa terjebak di situasi kayak gitu?
Ketika Nama Itu Terngiang di Era 2000-an
Ketika Dunia Menyorot, Tapi Hati Lagi Gelap
Gue inget jelas tahun 2008. Media lagi rame bahas tentang keterlibatannya dengan kasus narkoba. Judul-judul headline tuh bener-bener nggak kasih ruang napas. Semua kayak bilang, “Fahri Albar gagal. Titik.”
Waktu itu, jujur gue kesel. Bukan bela-belain dia, tapi kadang publik tuh kejam banget. Padahal yang dituduh juga manusia. Ada sisi dalam diri kita yang selalu pengen ngeliat orang lain jatuh. Dan ketika orang itu punya nama besar, entah kenapa, kita malah makin seneng ngelihatnya tersandung.
Gue juga sempet ngalamin hal yang sama, meski nggak seviral Fahri Albar. Waktu kerjaan gue hancur karena kesalahan keputusan, semua orang langsung mundur. Yang dulunya deket, tiba-tiba ngejauh. Gue ngerasa kayak virus. Persis kayak yang media lakukan ke Fahri—gak dikasih ruang buat perbaikan, cuma dicap: “Gagal.”
Dari situ gue mulai sadar, kadang sorotan bukan bentuk pujian. Kadang sorotan itu tekanan. Dan nggak semua orang kuat ngadepin itu.
Menghindar Bukan Solusi, Tapi Kadang Itu yang Kita Lakukan
Selama beberapa tahun, Fahri Albar kayak lenyap. Gak muncul di layar lebar, gak nongol di infotainment. Banyak yang bilang dia udah ‘habis’. Tapi gue punya feeling, dia gak hilang—dia lagi sembunyi buat nyelametin dirinya sendiri.
Dan gue ngerti banget itu.
Ada masa dalam hidup gue di mana satu-satunya cara buat bertahan adalah dengan ngilang. Gue uninstall semua sosial media, cut off semua temen, bahkan ngehindarin keluarga. Gue cuma pengen… diam. Istirahat. Gak mikir apapun.
Tapi lo tau gak sih, itu justru momen paling penting. Karena dalam sepi itu, gue akhirnya bisa denger suara hati gue sendiri. Sama kayak Fahri Albar. Mungkin dia juga butuh waktu buat ngobrol sama dirinya sendiri. Buat ngasih ruang buat luka-luka yang belum sempat disembuhkan.
Dan dari situ gue belajar: kita semua butuh ruang untuk bernapas. Bahkan jika dunia nggak kasih izin, kita harus izin ke diri sendiri.
Bukan Tentang Comeback, Tapi Gimana Lo Bangkit
Gue pertama kali liat Fahri Albar lagi di film “Perempuan Tanah Jahanam” tahun 2019. Dia gak jadi tokoh utama, tapi kehadirannya tuh berbeda. Lebih kalem. Lebih dalam. Nggak ada lagi nuansa ‘pamer’. Yang ada justru kesan bijak yang terasa dari cara dia mainkan peran.
Itu bukan Fahri yang dulu. Itu Fahri Albar yang udah melewati badai.
Dan waktu itu gue mikir, wah, ini bukan sekadar comeback—ini transformasi. Karena buat gue, orang yang bangkit dengan versi yang lebih baik tuh jauh lebih keren daripada orang yang cuma “balik seperti dulu”.
Hal yang sama terjadi sama gue pas akhirnya gue berani balik kerja lagi. Tapi kali ini dengan ritme yang gue atur sendiri. Gue nggak lagi ngejar validasi. Gue kerja karena gue suka. Gue pilih proyek karena gue punya misi.
Dan dari Fahri Albar, gue belajar satu hal: lo nggak harus balik jadi yang dulu. Lo cuma harus balik jadi versi lo yang udah sembuh.
Pelajaran yang Gak Ada di Buku Manapun
Ada hal-hal yang nggak bakal kita temuin di buku motivasi, TED talk, atau seminar mahal. Salah satunya: cara menerima bagian terburuk dari diri sendiri.
Fahri Albar ngajarin gue itu.
Dia nggak pernah sok suci. Dia tahu dia punya masa lalu. Tapi dia nggak tutupin. Dia akui. Dia hadapi. Dan itu yang bikin dia akhirnya bisa tenang.
Gue pernah lari dari sisi gelap gue. Gue pura-pura gak pernah salah. Tapi makin gue tolak, makin keras itu ngejar. Dan baru setelah gue terima bahwa “iya, gue pernah kacau”, baru gue bisa move on.
Ketika Dunia Hiburan Bukan Lagi Tujuan, Tapi Sarana
Gue sempat nonton wawancara Fahri bareng Ayahnya. Gila, momen itu menyentuh banget. Lo bisa liat hubungan yang retak dulu akhirnya pelan-pelan pulih. Dan dari situ gue sadar, buat dia, dunia hiburan sekarang bukan lagi panggung popularitas, tapi panggung ekspresi dan pemulihan.
Dia udah nggak lagi ngejar spotlight. Dia lebih fokus ke karya. Ke esensi. Dan itu inspirasi gede buat gue, dikutip dari laman resmi Antara News.
Sekarang, setiap kali gue nulis atau bikin proyek, gue tanya ke diri sendiri: “Lo bikin ini buat siapa?” Kalau jawabannya cuma “biar viral”, biasanya hasilnya hambar. Tapi kalau gue tulis dari hati, hasilnya bisa nyentuh orang lain.
Dan itu yang gue pelajari dari Fahri: ketenaran itu bisa pudar, tapi makna nggak akan hilang.
Penutup: Lo Gak Harus Sempurna Untuk Layak Dimaafkan
Fahri Albar bukan sosok sempurna. Dan justru karena itu, dia jadi manusia yang bisa gue kagumi. Dia gak sok tahu, gak sok alim, tapi juga gak tenggelam di masa lalu.
Dia ngajarin gue bahwa:
-
Lo gak harus sempurna untuk layak dimaafkan.
-
Lo berhak sembuh, bahkan jika lo yang nyakitin diri lo sendiri.
-
Lo boleh jatuh berkali-kali, asal lo tetep bangun dan belajar.
Gue gak kenal dia secara pribadi, tapi kisah dia punya tempat di hidup gue. Dan kalau lo lagi ngelewatin fase gelap, mungkin lo butuh tokoh kayak Fahri—bukan buat dijadikan panutan, tapi buat diingetin: “Lo gak sendirian.”
Final Note
Terima kasih udah baca sejauh ini. Kalau tulisan ini nyentuh lo, atau lo punya cerita yang mirip, share di kolom komentar atau kirim ke email/blog lo sendiri. Dunia ini butuh lebih banyak cerita tentang kegagalan yang jujur dan kebangkitan yang penuh makna.
Dan kalau kamu seorang blogger, inget: cerita otentik itu lebih kuat dari algoritma.
Baca Juga Artikel dari: Vatican News dan Refleksi Pribadi Seorang Umat Biasa
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Celebrities