Jujur aja, dulu gue anggap berita soal Hasto Kristiyanto, Harun Masiku, PAW DPR—semua itu cuma bumbu drama politik. Yah, biasa lah… politikus digoreng di media, terus ilang gitu aja. Tapi pas gue mulai ngikutin lebih serius—dan gue liat gimana Sekjen partai penguasa diduga main di belakang layar, gue ketrigger.
Gue pikir, ini udah bukan soal partai A atau B. Ini soal gimana rakyat diakali pake prosedur yang katanya demokratis. Nama-nama kayak Harun Masiku udah kayak hantu. Hilang, tapi pengaruhnya masih nyata. Dan Hasto Kristiyanto? Dia yang sekarang lagi dicekik balik sama sistem yang dulu dia bela.
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang Dulu Gue Kagumi
Dulu, gue sempet salut sama Hasto. Serius. Gaya bicaranya terstruktur, kalem, dan dia sering banget bawa-bawa Pancasila. Gue pikir, “wah, ini orang kayaknya negarawan.”
Tapi semua itu runtuh pas gue liat nama dia nyangkut di kasus suap PAW DPR bareng Harun Masiku. Gila, bos partai ikut ngatur siapa yang duduk di kursi rakyat lewat cara-cara licik? Ini mah bukan demokrasi, ini kayak pasar loak politik.
Gue yang rakyat biasa cuma bisa nonton. Tapi perih, bro. Karena gue milih wakil rakyat buat dengerin suara gue. Tapi kenyataannya, mereka disusun kayak ngerakit puzzle di belakang meja, pakai duit dan kekuasaan.
Skandal Harun Masiku: Hantu Politik yang Nggak Pernah Ditangkap
Lo inget nggak waktu Harun Masiku kabur? Itu tahun 2020, bro. Empat tahun berlalu, KPK bilang dia masih buron. Yang bikin miris, orang-orang malah bercanda: “Harun Masiku udah pindah dimensi.”
Padahal ini bukan lucu. Ini ngeri.
Dan sekarang, nama Hasto Kristiyanto dikaitkan langsung. Jaksa bilang dia ikut monitor proses PAW Harun Masiku. Bahkan minta diberesin kayak kasus Maria Lestari. Itu serius. Karena kalau bener, ini bukan cuma soal satu kursi DPR. Ini sistem yang udah rusak dari akarnya, dikutip dari laman resmi Kompas.
Gue diem sejenak waktu baca itu. Trus mikir: “Kalo gue aja bisa baca ini di media, masa sih penegak hukum butuh waktu 4 tahun buat nangkep pelakunya?”
“Katanya Rakyat Dulu, Nyatanya Kekuasaan Duluan”
Gue pernah nulis status waktu pilpres kemarin: “Siapa pun presidennya, semoga jujur dan pro rakyat.” Tapi makin ke sini, gue makin sadar—yang duduk di kursi eksekutif cuma sepotong cerita. Yang ngatur skenario sering kali di belakang layar: partai.
Dan siapa motor penggerak partai? Ya, orang-orang kayak Hasto Kristiyanto ini.
Pas Hasto Kristiyanto bilang dia nggak tahu-menahu, gue pengen percaya. Tapi fakta di persidangan bilang dia ikut ngatur. Bahkan jaksa bilang ada komunikasi langsung.
Sementara tim kuasa hukum dia, yang ironisnya dipimpin Febri Diansyah (mantan jubir KPK!), malah bilang nggak ada bukti uang dari Hasto Kristiyanto.
Lah, kita yang nonton jadi bingung: Ini sinetron politik apa realitas?
Di Sidang, Rakyat Cuma Jadi Penonton yang Kesel Sendiri
Gue sempet liat cuplikan sidangnya. Di luar pengadilan rame. Ada yang demo dukung Hasto, ada yang demo pro KPK. Polisi turun tangan, Satgas partai juga nongol.
Sementara di dalam sidang? Banyak yang muter-muter di soal teknis. Bukti ini nggak lengkap, saksi itu nggak akurat, semua kayak main ping-pong.
Gue sebagai rakyat cuma bisa ngelus dada. Lo bayangin, buat masuk kerja aja harus bersih dari SKCK, tapi buat duduk di kursi kekuasaan? Bisa disusun lewat perjanjian gelap.
Gue mulai nanya ke diri sendiri: “Apa gunanya nyoblos, kalo akhirnya mereka saling pasang posisi di belakang layar?”
Politik Kita Udah Kayak Pasar Malam: Ramai, Tapi Penuh Tipuan
Gue pernah dateng ke pasar malam waktu kecil. Meriah, lampunya warna-warni. Tapi banyak mainan tipu-tipu. Lempar gelang ke botol, yang kalo nggak pas sedikit aja, mental.
Itu mirip banget sama politik sekarang.
Semua kelihatan demokratis, kelihatan pro rakyat. Tapi pas lo liat lebih deket, ada uang mengalir. Ada lobi gelap. Ada penyusunan kekuasaan yang nggak lo liat di layar TV.
Dan kasus Hasto Kristiyanto ini kayak contoh hidupnya. Gimana “pergantian antarwaktu” anggota DPR bisa dijadikan alat transaksional.
Bro, ini bukan soal “harusnya yang duduk si A atau si B”. Tapi harusnya prosesnya jujur. Karena yang main di situ mewakili lo dan gue.
Pelajaran yang Gue Petik dari Drama Ini
1. Politik Bukan Tempat Cari Kaya Cepat
Gue dulu sempet mikir, “jadi politikus enak ya, duitnya banyak.” Tapi makin ke sini, makin sadar: duit itu bisa ngebunuh lo pelan-pelan. Reputasi ilang, harga diri hancur, dan nama lo jadi bahan hinaan abadi.
Liat aja Hasto Kristiyanto sekarang. Nama dia muncul tiap hari, tapi bukan karena prestasi. Tapi karena diduga nyangkut korupsi.
2. Kita Harus Melek Proses, Bukan Cuma Hasil
Selama ini kita cuma fokus siapa yang duduk di kursi, bukan gimana cara dia bisa duduk di sana.
Kasus PAW Harun Masiku ini bukti, prosesnya busuk. Dan kita harus lebih cerewet. Jangan nunggu viral baru peduli.
3. Demokrasi Itu Gampang Dirusak Kalau Kita Diam
Kalau semua orang kayak gue dulu—cuma nonton, nyinyir doang—maka sistem ini bakal terus dimainin. Yang salah makin berani, yang bener makin takut.
Gue belajar: suara kecil lo tetep penting. Komentar, nulis, tanda tangan petisi, bahkan ngobrol kayak gini—itu cara kita jagain demokrasi yang udah robek.
Penutup: Mungkin Hasto Salah, Mungkin Dia Dijebak—Tapi Kita Tetap Harus Nonton
Gue nggak langsung vonis Hasto salah. Tapi gue juga nggak mau jadi rakyat yang gampang dibohongin.
Kasus ini harus diusut sampe akar. Jangan cuma Hasto Kristiyanto yang diadili, tapi juga sistem politik yang bikin praktek kayak gini terus-terusan terjadi.
Gue capek liat pejabat main drama. Capek liat partai bilang “rakyat dulu” tapi nyatanya “kursi duluan”. Dan mungkin lo juga.
Tapi kita masih punya satu hal: kesadaran.
Kesadaran kalau kita bisa mulai jaga negeri ini dengan cara paling sederhana: nggak lupa, dan nggak diam.
Baca Juga Artikel dari: Perjalanan Karier Fahri Albar: Sorotan Bukan Segalanya
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi